Apakah Perayaan Maulid Nabi Diambil Dari Tradisi Syiah? bahwa perayaan Maulid Nabi yang mulia adalah sunnah (tradisi) Salafus Shalih, sunnah para ulam
Kami ingin menjelaskan bahwa perayaan Maulid Nabi yang mulia adalah sunnah (tradisi) Salafus Shalih, sunnah para ulama dan orang-orang shaleh, baik dari kalangan muhadditsin (ahli hadits) maupun fuqaha (ahli fikih) dari imam-imam Ahlus Sunnah, bukan dari Syiah. Dan bukan seperti klaim kaum Wahhabi bahwa Syiah adalah yang pertama memulainya, hal itu dapat dibuktikan melalui tiga hal:
Pertama: Para ulama Islam menyusun kitab-kitab Maulid yang bersanad untuk dibaca pada hari kelahiran Nabi yang mulia.
Ini merupakan tradisi yang telah dilakukan oleh salafus shalih. Mereka berkumpul pada hari Maulid, membaca kitab tersebut bersama-sama, membagikan makanan kepada orang banyak dan menyebarkan sedekah. Tokoh-tokoh ulama yang mempelopori tradisi ini antara lain:
- Imam Muhammad bin Umar Al-Waqidi (wafat 207 H).
- Imam Ibn Abi Ashim An-Nabil (wafat 287 H).
- Hafizh Abu Al-Abbas Al-Izafi (wafat 603 H).
- Hafizh Ibn Dihyah Al-Andalusi (wafat 633 H).
- Hafizh Ibn Katsir (wafat 744 H).
- Hafizh Al-Iraqi (wafat 806 H).
- Hafizh Ibn Al-Jazari (wafat 833 H), pengarang dua kitab tentang Maulid.
- Hafizh Ibn Nasseruddin Ad-Dimasyqi (wafat 842 H).
- Hafizh As-Suyuti (wafat 911 H).
- Hafizh Ibn Hajar Al-Haytami (wafat 974 H).
- Tajul Arifin Al-Munawi (wafat 1031 H).
Dan lain-lain dari ulama umat dan muhadditsin terkemuka, baik klasik maupun modern.
Hingga ulama terkemuka Muhammad bin Abdul Hayyi Al-Kattani Al-Maghribi, berusaha meneliti & mencatat hal-hal seperti ini dalam kitabnya "At-Taālīf Al-Mawlidiah", beliau mencatat sekitar 125 kitab tentang Maulid Nabi.
Jumlah ini bisa ditambahkan lebih banyak lagi melebihi itu, sehingga terlihat jelas bagi anda betapa para imam hadits dan ulama sangat memperhatikan hari kelahiran Nabi yang terberkahi sepanjang sejarah.
Kedua: Tabarruk Salafus Shalih dengan tempat kelahiran Nabi yang mulia.
Dalam kitab "Akhbar Makkah", Imam Abu Al-Walid Al-Azraqi (wafat 250 H) menyebutkan bab:
[ذِكْرُ الْمَوَاضِعِ الَّتِي يُسْتَحَبُّ فِيهَا الصَّلَاةُ بِمَكَّةَ، وَمَا فِيهَا مِنْ آثَارِ النَّبِيِّ ، وَمَا صَحٌ مِنْ ذَلِكَ]
"Penjelasan tentang tempat-tempat di Makkah yang dianjurkan untuk berdoa disana, dan apa yang ada di dalamnya dari peninggalan Nabi, dan hal-hal yang shahih tentang itu."
Imam Abu Al-Walid berkata:
: مَوْلِدُ النَّبِيِّ أَي الْبَيْتُ الَّذِي وُلِدَ فِيهِ النَّبِيُّ ﷺ
"Tempat kelahiran Nabi, yaitu rumah tempat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dilahirkan."
Jadi, perhatikan bahwa beliau menjadikan rumah tempat lahirnya Nabi ﷺ sebagai tempat yang digunakan oleh umat Muslim untuk beribadah untuk bertabarruk atas kelahiran Nabi ﷺ di sana, hingga beliau berkata:
[فلم يزل ذلك البيت في الدار حتى حجت الخيزران أم الخليفتين موسى وهارون فجعلته مسجدا يصلى فيه، وأخرجته من الدار وأشرعته في الزقاق الذي في أصل تلك الدار يقال له: زقاق المولد]
"Rumah kelahiran Nabi tersebut tetap berdiri di tempatnya hingga Khayzuran, ibunda dari dua Khalifah yaitu Musa dan Harun, melakukan haji. Ia kemudian menjadikan rumah tersebut sebuah masjid untuk shalat, memindahkannya dari tempat aslinya dan memperluasnya ke arah lorong yang terletak di dasar rumah tersebut, yang dikenal sebagai Zuqaq al-Mawlid".
Kemudian Abu Al-Walid melanjutkan:
[سَمِعْتُ جَدِّي وَيُوسُفَ بْنَ مُحَمَّدٍ يُثْبِتَانِ أَمْرَ الْمَوْلِدِ، وَأَنَّهُ ذلِكَ الْبَيْتُ، لَا اخْتِلَافَ فِيهِ عِنْدَ أَهْلِ مَكَّةَ]
أخبار مكة وما جاء فيها من الأثارة للأزرقي (۲/ ۱۹۹،۱۹۸)
"Saya mendengar dari kakek saya, dan Yusuf bin Muhammad, bahwa mereka berdua memastikan keberadaan Maulid Nabi dan menegaskan bahwa rumah tersebut adalah tempat kelahiran Nabi, tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan penduduk Makkah."
Dan ini adalah bab lain yang menunjukkan perhatian kaum Muslimin sejak abad ke-2 Hijriah terhadap rumah kelahiran Nabi, yang mereka anggap sebagai tempat yang diberkahi dan suci.
Ketiga: Penguasa Sunni adalah yang pertama merayakan Maulid Nabi dengan dihadiri oleh ulama-ulama terkemuka.
Di antara orang pertama yang mengadakan perayaan Maulid dengan cara istimewa adalah pemilik Irbil, Raja al-Mu'azzam al-Mu'ammar Muzhaffar al-Din KuKabri bin Ali Turukmani, yang wafat pada tahun 630 H. Al-Hafizh Adz-Dzahabi berkata tentangnya:
وأما احتفاله بالمولد، فيقصر التعبير عنه؛ كان الخلق يقصدونه من العراق والجزيرة، وتنصب قباب خشب له ولأمرائه وتزين، وفيها جوق المغاني واللعب، وينزل كل يوم العصر، فيقف على كل قبة ويتفرج، ويعمل ذلك أياما، ويخرج من البقر والإبل والغنم شيئا كثيرا، فتنحر، وتطبخ الألوان، ويعمل عدة خلع للصوفية، ويتكلم الوعاظ في الميدان، فينفق أموالا جزيلة. وقد جمع له ابن دحية (كتاب المولد)، فأعطاه ألف دينار.
"Dan perayaan Maulidnya tidak dapat digambarkan dengan kata-kata; manusia berduyun-duyun datang dari Irak dan Jazirah. Tenda-tenda kayu didirikan untuknya dan para penguasa, dihiasi dengan dekorasi. Di dalamnya terdapat grup penyanyi dan permainan. Setiap hari, dia turun pada waktu Ashar, berdiri di depan setiap tenda dan menikmati pemandangan. Hal ini dilakukan selama beberapa hari. Dia membagikan banyak hewan ternak, seperti sapi, unta dan kambing. Hewan-hewan itu kemudian disembelih, dimasak dengan berbagai cara, dan disajikan. Pakaian disediakan untuk kalangan Sufi. Para penceramah berkhotbah di lapangan, dan menginfaqkan harta yang banyak. Ibn Dihyah menyusun kitab 'Al-Maulid' untuknya maka dia memberikan kepada Ibn Dihyah1000 dinar."
Kemudian Al-Hafizh Adz-Dzahabi berkata tentang sifat Raja tersebut:
[وكان متواضعا، خيرا، سنيا، يحب الفقهاء والمحدثين، وربما أعطى الشعراء، وما نقل أنه انهزم في حرب]
سير أعلام النبلاء، (۲۲/ ٣٣٦)
"Dia adalah seorang penguasa yang rendah hati, baik, sunni (pengikut ahlus sunnah), mencintai fuqaha dan muhadditsin, dan sering memberikan hadiah kepada para penyair. Tidak ada catatan bahwa dia pernah dikalahkan dalam peperangan."
Imam Ibn Khallikan berkata tentang Raja Muzhaffar dalam kitab 'Wafayat al-A'yan', setelah menjelaskan perayaan Maulid yang diadakannya:
[وكان كريم الأخلاق، كثير التواضع، حسن العقيدة، سالم البطانة، شديد الميل إلى أهل السنة والجماعة، لا ينفق عنده من أرباب العلوم سوى الفقهاء والمحدثين ومن عداهما لا يعطيه شيئا إلا تكلفا]
"Dia memiliki akhlak yang mulia, sangat rendah hati, berpegang pada aqidah yang baik, bersih hatinya, kuat komitmennya pada Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Dia hanya memprioritaskan ulama fuqaha dan muhadditsin dalam pendanaan ilmu, sedangkan yang lain hanya diberi sedikit sebagai basa-basi."
Kemudian Ibn Khallikan melanjutkan biografi tersebut dan berkata:
[وليعذر الواقف على هذه الترجمة ففيها تطويل، ولم يكن سببه إلا ما له علينا من الحقوق التي لا تقدر على القيام بشكر بعضها، ولو عملنا مهما عملناه، وشكر المنعم واجب، فجزاء الله عنا أحسن الجزاء، فكم له علينا من الأيادي، ولأسلافه على أسلافنا من الإنعام، والإنسان صنيعة الإحسان، ومع الاعتراف بجميله فلم أذكر عنه شيئًا على سبيل المبالغة، بل كل ما ذكرته عن مشاهدة وعيان، وربما حذفت بعضه طلبا للإيجازه]
وفيات الأعيانه (۱/ ۱۲۰،۱۱۹).
"Biarkanlah orang yang membaca biogragi ini memaafkan, karena ada beberapa bagian yang panjang, dan penyebabnya hanyalah hak-hak yang dimilikinya atas kami yang tidak mampu kami balas dengan syukur sebagiannya, meskipun kami berusaha sekuat tenaga. Bersyukur kepada Pemberi Nikmat adalah kewajiban, maka semoga Allah membalasnya dengan sebaik-baiknya balasan. Betapa banyak kebaikan yang telah dilakukannya terhadap kami, dan leluhurnyanya terhadap leluhur kami. Manusia adalah ciptaaan kebaikan, dan dengan mengakui kebaikannya, saya tidak menyebutkan sesuatu tentangnya dengan berlebihan, melainkan semua yang saya sebutkan adalah berdasarkan pengamatan dan pengalaman langsung, dan mungkin saya menghapus beberapa bagian untuk memperpendek."
Kamaluddin Ibn al-Fuwati (wafat 723 H) berkata dalam biografi Imam al-Mulla Mu'inuddin al-Maushili al-Zahid:
[وكان من جملة خلاله أنه كان يعمل مولد النبي ﷺ ويصنع الطعام الكثير بحيث يحضره سلطان الموصل والأكابر والأعيان]
مجمع الآداب في معجم الألقاب (٣٩٩/٦)
"Salah satu kebiasaan beliau adalah merayakan Maulid Nabi Muhammad ﷺ dengan menyajikan banyak makanan sehingga dihadiri oleh Sultan Mosul, para pejabat tinggi dan tokoh masyarakat."
Semua ini menunjukkan betapa besar perhatian ulama Islam, khususnya para muhadditsin, terhadap hari kelahiran Nabi yang mulia. Agar diketahui bahwa merayakan dan berbuat kebaikan pada hari kelahiran Nabi adalah tradisi yang telah dilakukan oleh umat Islam dan imam-imam Islam dari generasi ke generasi, hingga sampai kepada kita. Bukanlah ini sebuah tradisi Syiah sebagaimana yang dituduhkan oleh mereka. Wallahu A'lam.
COMMENTS