Imam Al-Ghazali yaitu ulama besar yang berasal dari negeri Thus, ialah daerah ber-batasan dengan kota Mashhad. Sebagaimana para masyarakat/penduduk Thus lainnya, pada masa mudanya,
Ada sebuah cerita yang cerita ini mempunyai beberapa versi. Berikut adalah versi pertama:
Imam Al-Ghazali yaitu ulama besar yang berasal dari negeri Thus, ialah daerah ber-batasan dengan kota Mashhad. Sebagaimana para masyarakat/penduduk Thus lainnya, pada masa mudanya, Imam Al Ghazali, belajar ilmu di Kota Tetangganya, Naisabur dan Gurgan (sekarang merupakan wilayah Negara Iran). Masa belajar di Naisabur lumayan lama, Bertahun-tahun, ia belajar kepada ulama-ulama dan orang-orang alim setempat.
Setelah belajar dari Naisabur, Imam Al Ghazali memutuskan untuk segera pulang ke asal, kampung halamannya. Kemudian, Ia ikut dengan rombongan/kafilah yang hendak pergi ke kampungnya dengan membawa banyak catatan-catatan dari hasil belajar-nya selama bertahun-tahun tersebut.
Namun, ditengah perjalanannya, kafilah/rombongan Ghazali itu dihadang sekelompok perampok. Para perampok tersebut akhirnya mengambil setiap barang yang mereka jumpai. Dan pada saat giliran barang-barang bawaan Al-Ghazali, ia lalu berkata kepada para perampok tersebut,:
"Kalian boleh mengambil semua barang-barang bawaan saya, tetapi saya minta tolong janganlah kalian ambil barang yang satu ini". Kata Ghazali.
Segerombolan perampok tersebut kemudian mengira bahwa barang yang dimaksud itu adalah barang-barang yang bernilai. Lalu dengan secepat kilat, mereka-pun merebut mengambil dan membukanya. Dan Mereka ternyata tidak melihat apa-apa kecuali hanya setumpukan kertas-kertas yang hanya penuh dengan tulisan-tulisan hitam.
"Apa-apaan ini ?". Buat apa kau mengumpulkan dan menyimpannya ?", tanya heran para perampok itu.
"Hanya itulah barang-barang yang tidak berguna untuk kalian, akan tetapi itu sangat berguna untukku". Jawab Al-Ghazali.
"Apa gunanya?" Tanya perampok.
"Ini adalah hasil kerja kerasku selama beberapa tahun, jika kalian merampas barang itu dariku, maka ilmuku akan habis dan juga usahaku yang bertahun-tahun itu akan sia-sia belaka", jawab Al-Ghazali.
"Hanya dalam lembaran-lembaran inikah ilmumu?", tanya seorang perampok dengan tertawa.
"betul kisanak", Jawab Al Ghazali.
"Ilmu yang kau simpan dalam bungkusan atau lembaran dan dapat dicuri, sejatinya tidaklah ilmu. Maka Pikirkanlah nasib dirimu sendiri baik-baik". kata perampok yang menusuk hati Ghazali.
Perkataan perampok yang sederhana tersebut benar-benar mengguncangkan hati dan jiwa serta menggugah kesadaran Al Ghazali muda. Ia sadar bahwa sampai saat itu ternyata masih berpikir untuk sekedar mencatat ilmu dari para mulut gurunya di buku-buku tulis saja, kemudian seketika itu pula ia menjadi berubah pikiran, yakni ketika sudah sampai dirumah, ia memutuskan untuk berusaha melatih otaknya lebih banyak lagi. Ia belajar, mengkaji dan menganalisa, dan kemudian menyimpan ilmu-ilmu yang bermanfaat tersebut di dalam kepalanya. Ia pun berkata:
"Nasehat yang pernah kudengar yang dapat merubah dan membimbing di kehidupanku dan juga pendidikanku adalah dari nasehat perampok tersebut".
Terbukti benar, Imam Al-Ghazali di kemudian hari betul-betul menjadi orang yang sangat 'alim yaitu yang menguasai banyak ilmu dengan sangat hafal seperti di luar kepala. Salah satu karyanya adalah Kitab "Ihya ulumiddin". Kitab tersebut adalah hasil karyanya yang fenomenal sampai hari ini, Ia tulis ketika masih dalam keadaan mengembara ke berbagai negara. Sudah barang tentu ditulis dari bekal ilmu yang dimilikinya diluar kepala.
Kisah lain dengan versi lain adalah ketika setelah dirampok, ia begitu sedih dan kemudian bermunajat kepada Allah. Dan beberapa tahun setelah kejadian tersebut ia dapat bertemu dengan Nabi Khidir. Ia dinasehati Nabi Khidir dari kejadian perampokan tersebut. Ia tidak diperbudak dengan buku.
*Sumber: LDNU Kab Kediri.
Imam Al-Ghazali yaitu ulama besar yang berasal dari negeri Thus, ialah daerah ber-batasan dengan kota Mashhad. Sebagaimana para masyarakat/penduduk Thus lainnya, pada masa mudanya, Imam Al Ghazali, belajar ilmu di Kota Tetangganya, Naisabur dan Gurgan (sekarang merupakan wilayah Negara Iran). Masa belajar di Naisabur lumayan lama, Bertahun-tahun, ia belajar kepada ulama-ulama dan orang-orang alim setempat.
Setelah belajar dari Naisabur, Imam Al Ghazali memutuskan untuk segera pulang ke asal, kampung halamannya. Kemudian, Ia ikut dengan rombongan/kafilah yang hendak pergi ke kampungnya dengan membawa banyak catatan-catatan dari hasil belajar-nya selama bertahun-tahun tersebut.
Namun, ditengah perjalanannya, kafilah/rombongan Ghazali itu dihadang sekelompok perampok. Para perampok tersebut akhirnya mengambil setiap barang yang mereka jumpai. Dan pada saat giliran barang-barang bawaan Al-Ghazali, ia lalu berkata kepada para perampok tersebut,:
"Kalian boleh mengambil semua barang-barang bawaan saya, tetapi saya minta tolong janganlah kalian ambil barang yang satu ini". Kata Ghazali.
Segerombolan perampok tersebut kemudian mengira bahwa barang yang dimaksud itu adalah barang-barang yang bernilai. Lalu dengan secepat kilat, mereka-pun merebut mengambil dan membukanya. Dan Mereka ternyata tidak melihat apa-apa kecuali hanya setumpukan kertas-kertas yang hanya penuh dengan tulisan-tulisan hitam.
"Apa-apaan ini ?". Buat apa kau mengumpulkan dan menyimpannya ?", tanya heran para perampok itu.
"Hanya itulah barang-barang yang tidak berguna untuk kalian, akan tetapi itu sangat berguna untukku". Jawab Al-Ghazali.
"Apa gunanya?" Tanya perampok.
"Ini adalah hasil kerja kerasku selama beberapa tahun, jika kalian merampas barang itu dariku, maka ilmuku akan habis dan juga usahaku yang bertahun-tahun itu akan sia-sia belaka", jawab Al-Ghazali.
"Hanya dalam lembaran-lembaran inikah ilmumu?", tanya seorang perampok dengan tertawa.
"betul kisanak", Jawab Al Ghazali.
"Ilmu yang kau simpan dalam bungkusan atau lembaran dan dapat dicuri, sejatinya tidaklah ilmu. Maka Pikirkanlah nasib dirimu sendiri baik-baik". kata perampok yang menusuk hati Ghazali.
Perkataan perampok yang sederhana tersebut benar-benar mengguncangkan hati dan jiwa serta menggugah kesadaran Al Ghazali muda. Ia sadar bahwa sampai saat itu ternyata masih berpikir untuk sekedar mencatat ilmu dari para mulut gurunya di buku-buku tulis saja, kemudian seketika itu pula ia menjadi berubah pikiran, yakni ketika sudah sampai dirumah, ia memutuskan untuk berusaha melatih otaknya lebih banyak lagi. Ia belajar, mengkaji dan menganalisa, dan kemudian menyimpan ilmu-ilmu yang bermanfaat tersebut di dalam kepalanya. Ia pun berkata:
"Nasehat yang pernah kudengar yang dapat merubah dan membimbing di kehidupanku dan juga pendidikanku adalah dari nasehat perampok tersebut".
Terbukti benar, Imam Al-Ghazali di kemudian hari betul-betul menjadi orang yang sangat 'alim yaitu yang menguasai banyak ilmu dengan sangat hafal seperti di luar kepala. Salah satu karyanya adalah Kitab "Ihya ulumiddin". Kitab tersebut adalah hasil karyanya yang fenomenal sampai hari ini, Ia tulis ketika masih dalam keadaan mengembara ke berbagai negara. Sudah barang tentu ditulis dari bekal ilmu yang dimilikinya diluar kepala.
Kisah lain dengan versi lain adalah ketika setelah dirampok, ia begitu sedih dan kemudian bermunajat kepada Allah. Dan beberapa tahun setelah kejadian tersebut ia dapat bertemu dengan Nabi Khidir. Ia dinasehati Nabi Khidir dari kejadian perampokan tersebut. Ia tidak diperbudak dengan buku.
*Sumber: LDNU Kab Kediri.
COMMENTS