RSNU Belum Berdiri, NU Sudah Jadi Petilasan. DARI awal saya tidak sepakat rencana pendirian RSNU Jepara bila perangkatnya belum direncanakan dan dikro
RSNU BELUM BERDIRI, NU SUDAH JADI PETILASAN
Oleh M. Abdullah Badri
DARI awal saya tidak sepakat rencana pendirian RSNU Jepara bila perangkatnya belum direncanakan dan dikronologikan dengan baik. Pasalnya, "modal beriman" dan mengandalkan "sam'an wa tho'atan" dari nahdliyyin saja, tidaklah cukup. Ada banyak masalah yang dari awal sudah saya utarakan ke beberapa sahabat NU yang terlibat penggalangan dana.
Setahu saya, orang mau jualan kaplingan tanah biasanya sudah siap dengan ukuran tanah, gambar, harga per meter, dll., dan semuanya disusun dalam publikasi apik. Baik dalam bentuk brosur, video, telemarketing dan lainnya. Jualan rumah juga begitu. Gambarnya kadang malah sudah berupa 3D. Bahkan ada bonus-bonus diskon untuk pembelinya.
Di bisnis marketing, siapa yang akan membangun rumah, berapa lama dibangun, depenya berapa, sudah bisa dibaca dengan jelas. Jika ada yang tidak sesuai, calon pembeli yang kecewa bisa menggugat ke pihak berwajib. Lahan tanah yang dijual pun sudah dibersihkan. Sehingga, calon pembeli yang datang bisa langsung cek ke lokasi. Dengan begitu, membeli tanah kaplingan atau rumah berdesain tidak seperti membeli kucing dalam karung, yang dihantui was-was, potensi kehilangan, dll.
Problem Harus Terurai
Problemnya, pembangunan RSNU Jepara sepertinya tidak melalui tahapan persiapan matang bermanajemen baik. Panitia langsung meloncat ke tahapan eksekusi pembebasan tanah tanpa mukoddimah rasional yang menjamin siapapun yang membantu pembebasan tanah, terjamin haknya. Panitia langsung mematok harga, dan setiap MWC NU, PRNU, Banom NU hingga para guru dan murid madrasah di bawah LP. Maarif NU, dibebani iuran untuk pembebasan lahan senilai lebih 10 milyar itu, tanpa bisa menegosiasi.
Publikasi oral meluas, tapi Ttd pemilik tanah baru diproses. Saya menyimpan foto pemilik tanah yang didatangi Syuriah NU di tengah galangan dana sudah dimulai. Saya tanya ke salah satu tim penggalang dana terkait media sosialiasi apa yang diberikan panitia, dia mengaku hanya instruksi. Ya Allah. Dari sini saja sudah problematik.
Alibi apapun tidak bisa dibenarkan untuk menjawab peristiwa pembelian "kucing dalam karung" ini, sebab, sebelumnya, penggalangan dana nahdliyyin untuk RSNU dipasalkan massif sebagai bab mengganti pembiayaan dari BMT-BMT. BMT dapat apa dan berapa persen pun, ada yang menyoal? Piye jal?
Soal harga tanah yang masih dalam kondisi penuh rembulung itu, juga dianggap terlalu mahal, seolah tidak sesuai dengan NJOP sekitar lokasi. Kabar terdengar, dulu pemilik tanah (warga keturunan Cina) menawarkan dengan harga 250 ribu per meter ke pihak lain (sebelum ke NU). Bila naik ke harga 400 ribu per meter, itu wajar. Lha ini, harga kok bisa mencapai 650 ribu per meter. Larang men sih, yi...yi?
Lalu, kalau sudah lunas dibeli, siapa yang didaulat sebagai pemberi waqaf? Apakah anak saya yang perorang ditarik 20K di madrasah untuk dana wakaf di tanah calon RSNU bisa disebut sebagai waqif juga? Infak, sedekah, atau wakaf? Taglinenya sih terlihat wakaf, tapi praktiknya? Wallahu a'lam.
Lalu, apakah setiap waqif mendapatkan sertifikat wakaf, sehingga, bila terjadi sesuatu di kemudian hari, atau dia mendapatkan "bonus privilege" dari pengelola, bisa dimanfaatkan dengan baik olehnya atau tidak? Bila tanah sudah dilunasi atas nama PCNU dari harta warga nahdliyyin, kemudian tidak segera dibangun, apakah bisa menuntut? Ada kiai di Jepara yang langsung disrok 500 juta loh.
Siapa sih yang dituju donatur nahdliyyin untuk dititipi dana pembebasan lahan itu? Bila atas nama PCNU, atas nama LKK NU atau sebuah yayasan mandiri? Ah, ternyata, pihak yang dituju baru muncul sekarang, yakni Yayasan Mandiri. Pihak NU Jepara disebut-sebut inlander menyematkan nama NU di yayasan mandiri itu.
Dulu, penggalangan dananya atas nama PCNU, atau atas nama RSNU (sampai memaksa Banom harus setor segini, segitu, tanpa dibekali foto, penanggungjawab pengelolaan dan lain sebagainya). Tapi, sekarang, nama NU kok sudah jadi petilasan. Ceritane kepiye tah?
Saya jadi ingat rencana pembangunan RS yang diatasnamakan NU, dan sampai sekarang mangkrak. MWC NU Mayong jadi satu-satunya MWC yang tidak setor dana pembebasan lahan untuk RSNU yang sydah berubah jadi nama yayasan. Ada apa?
Saya pun jadi ingat konflik royokan beberapa oknum di RS-RS Islam, yang dulu, menurut data yang saya dengar, dibangun oleh Pengurus Resmi NU, atas nama NU, tapi di kemudian hari disupiri oleh pihak lain. Tidak ingatkan konflik antara PCNU Jepara dengan Pihak Yayasan Unisnu Jepara tahun-tahun sebelumnya?
Saya kok jadi waw-was atas mahdhufnya NU dari nama yayasan yang muncul belakangan setelah ter-petilaskan. Andai semuanya dijelaskan di awal, diatur di awal, pertanyaan-pertanyaan saya di di esai ini tidak perlu muncul. Wallahu a'lam.[]
SEMPOYONGAN MENGURAI SKENARIO RSNU JEPARA
RENCANA pendirian Rumah Sakit NU di Jepara bermula dari janji kampanye Ketua NU Jepara saat mencalonkan diri sebagai Ketua Tanfidziyah. Setahun program PCNU tidak berprogres sejak terpilih -sebagaimana diakui sendiri-, rencana pendirian RSNU pun mulai dimunculkan sebagai program unggulan.
Gegap gempita akan memiliki rumah sakit seolah jadi angin segar atas program NU yang vakum. Nahdliyyin di Jepara menyambut gembira. Namun, di awal gagasan RSNU itu menyeruak, Syuriah NU Jepara sendiri tidak begitu bersemangat. Alasannya klasik banget, RSNU bukan gagasan dari unsur Syuriah NU Jepara, melainkan Tanfidziyah.
Seolah akan ada durian runtuh, gagasan RSNU kemudian ditangkap optimis oleh oknum Syuriah. Yang awalnya tidak bersemangat, kini dia tampil seolah jadi lokomotif gerakan wakaf untuk bakal lahan di Troso (setelah berganti-ganti target lahan). Ketua NU Jepara sendiri hingga pernah menyatakan kalau pihaknya, kini, seolah sudah tidak dianggap. "Mboh ijeh dianggep opo ora". Begitu katanya, suatu kali.
Tanpa persiapan matang, dan langsung meloncat ke pembebasan lahan, beberapa pihak ditodong menyetorkan sertifikat tanah miliknya sebagai syarat pencairan dana dari BMT-BMT yang akan menjadi kreditur (dengan bunga 1 persen, seperti yang saya dengar). Bank konvensional enggan terlibat dengan alasan-alasan waras dan rasional.
Setidaknya, ada enam sertifikat milik pengurus PCNU di Jepara yang terpaksa dititipkan ke BMT. Begitu dana kredit telah cair, sertifikat lahan RSNU justru berada di tangan pihak Syuriah NU. Padahal, dia sendiri dikabarkan tidak mau mengorbankan sertifikat miliknya sebagai jaminan ke BMT.
Belum lunas dibayar, pihak panitia dikabarkan sudah membuat skenario menarik dana untuk rencana pembangunan kamar di gedung RSNU. Beberapa orang disrok jutaan rupiah (bahkan ratusan juta) untuk rencana tersebut. Mengapa dana itu tidak untuk pembebasan lahan? Siapa yang mendapatkan keuntungan di awal sebelum gedung dibangun? Bagaimana bentuk gedungnya? Sudah ada kah? Kalau penggalian dana lahan tidak segera selesai, apakah dana itu bisa dimasukkan ke pembebasan lahan? Jawaban pertanyaan ini membawa banyak risiko terhadap marwah NU di Jepara.
Galangan dana pembebasan lahan tidak begitu berhasil sesuai target waktu. Pemilik sertifikat yang dijaminkan ke BMT pun ketar-ketir. Mereka tidak berani berunjuk rasa. Cara yang ditempuh hanya menekan koordinator gerakan wakaf di bawah. Tiap bertemu dengan mereka, pihak Tanfidziyah acap bertanya: "endi ururane, kang?". Nahdliyyin grassroot pun mumet ditekan terus-menerus.
Tekanan ini muncul sebab hukum wakaf yang asalnya sunnah, kemudian jadi wajib akibat dana pembebasan lahannya diambilkan dari hutangan beberapa BMT yang wajib dilunasi. Skenario ini jelas sangat berisiko. BMT tidak mau rugi, dan panitia tidak mau buntung. Sementara itu, ada pihak Syuriah yang berdalih kalau urusan dana BMT adalah tanggungjawab penuh pihak Tanfidziyah. Mereka sempoyongan terkait hal ini.
Hanya ada satu MWC NU Kecamatan yang saya anggap berhasil menjalankan tugas instruksi tidak rasional itu. Pasalnya, pengurus MWC tersebut meminta kepada panitia pembangunan RSNU di PCNU agar diberi jatah pembebasan tanah melebihi target pembagian asal. Hal itu sengaja dilakukan sebagai langkah antisipasi manakala PRNU di ranting-ranting ada yang mogok tidak mau setoran dana target, dengan pelbagai alasannya.
Bila ada satu-dua ranting di MWC tersebut tidak menyetorkan dana wakaf -yang hukumnya tidak wajib, lalu, mereka mengalihkan dana RSNU untuk aset mobil, misalnya-, pihak MWC bakal selamat bisa menyetorkan dana minimal yang ditargetkan dari pihak panitia RSNU. MWC itu terbukti sukses. Mereka berhasil 100 persen "baro'ah dzimmah" mampu menyetorkan dana target minimal ke panitia di NU Cabang.
Sayangnya, tidak semua MWC memiliki strategi lolos dari target wajib panitia RSNU Cabang tersebut. Beberapa pihak mencurigai atas berubahnya "kendali RSNU", dari Tanfidziyah ke Syuriah. Dimana-mana, ketua NU adalah pimpinan pelaksana atas Rumah Sakit yang dibuat. Di Jepara beda, pimpinan RSNU adalah Syuriah dengan masa jabatan lima tahun, sesuai AD/ART yayasan mandiri yang dibuat. Apakah AD/ART tidak akan bisa diubah di tengah jalan? Siapa yang menjamin?
Kabar kalau penyematan nama NU untuk setiap RS di bawah ARSINU beresiko ditarik jatah 10 atau 15 persen (sehingga nama NU di akronim RS dihilangkan), itu dalil tidak berdasar. Semuanya tergantung adanya akad di awal antara PC, PW, dan PB. Bila murni dibangun oleh PCNU, apalagi dibiayai nahdliyyin, ora ono tarikan! Baik dari PB ataupun PW.
Oleh karena itulah, wajar nahdliyyin grassroot banyak yang menyoal berubahnya RSNU ke RSU. Pihak pengontrol terlalu dhohir berpolitik. Bahkan, ada kabar munculnya gagasan bakal njungkelke jajaran Tanfidziyah agar kendali NU Jepara dipegang oleh hanya satu orang saja. Nau'dzubillah, bila ini benar.
MELURUSKAN SYUBHAT RS(N)U JEPARA DENGAN TAFAKUR UQUL
ADA yang tidak percaya kalau munculnya akronim RSU --dalam kasus RSNU Jepara-- berasal dari Pekalongan. Kalau nama Yayasan Anugerah Sehat Jepara, iya betul, dari sana. Namun, untuk mengurai problemnya, istilah "somadaniyatul uqul" saja belumlah cukup. Apalagi narasinya bernada apologis, meloncat-loncat, dan terkesan dipaksakan. Saya akan menanggapi tulisan Kang Murtadho Hadi dengan bahasa yang ndakik-ndakik pula.
Kata "shomadaniyatul uqul" yang dikutip Kang Murtadho Hadi memang tertulis di Kitab Sirrul Jalil (Bab Keempat). Kitab cetakan saya ada di halaman 23. Sayangnya, keterangan kata itu hanya untuk mendorong thalib (santri tirakat) agar mau memilih jenis tirakat berat. "Bila kamu ingin tirakat, puasalah 70 hari untuk mendapatkan intiha' murtadlin (ujung riyadhoh) atas amalan ini", demikian kutipan Sirrul Jalil.
Dengan 70 hari puasa, kata penulisnya, Syaikh Syadzili, kamu (si thalib) akan mati dalam fana' dan hidup dalam baqa'. Jadi, "somadaniyatul uqul" urusannya dengan tirakat, bukan dengan logika sufi. Kang Murtadho (مرتضى) harus menjadi المرتاضين (ahli riyadhoh) dengan berpuasa 70 hari agar intuisinya makin kuat (Baca: Hadi) menangkap yang belum tersingkap seperti fenomena RSNU menjadi RSU, di Jepara ini.
Untuk mengungkapnya, ada mujahadah (kritik) yang dilakukan supaya hati makin terbuka (فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاۤءَكَ) kala diselimuti kabut keraguan. Cara terbaik untuk inkisyaf ghitho' (terbukanya tabir) adalah dengan tafakkur uqul (menggunakan akal-akal untuk berpikir) agar tajam (فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيْدٌ) dalam mengungkap yang disembunyikan dan tidak mampu diungkap pandangan mata orang awam.
Makrifat tentang apapun tidak akan sempurna tanpa tafakur. Tafakur adalah ritual ibadah yang terorganisir, melibatkan realitas partikular akal dengan dimensi dzauq (intuisi). Inilah logika sufi yang saya pahami. Bila suatu realitas ada kontradiksi yang mudah ditemui celahnya di sana sini, hukum tafakur justru menjadi wajib ain.
Analisa Tafakkur
Cara berpikir dalam bertafakur itu ada dua: deduktif dan induktif. Tafakur deduktif ialah tafakur yang digunakan untuk pengamalan apapun yang datang dari Allah Swt. dan Rasul-Nya. Tafakur induktif dimulai dari keyakinan, bukan dari keraguan, tak perlu ditanyakan kebenarannya, tapi layak diijtihadkan (dengan asas mutlaknya kebenaran). Dalilnya ini:
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Artinya:
"Dan sekiranya (Al-Qur'an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan (kontradiktif) di dalamnya". (QS. An-Nisa': 82).
Al-Qur'an mutlak benar. Bila tidak demikian, bakal terjadi banyak ketidaksesuaian. Maka cara tafakkur dan tadabburnya haruslah deduktif. Namun, bila menemukan kontradiksi pada realitas historis, sosiologis, politis, konsepnya bukan tafakur deduktif, melainkan tafakur induktif. Apa itu?
Yakni tafakur yang titik pijaknya dimulai dari dan berakhir pada ruang: 1). antropologis, 2). sosiologis, 3). filosofis, 4). historis, dan 5). psikologis. Tafakur induktif ini wajib dilakukan manakala terjadi kontrakdiksi, syubhat atau narasi tidak lazim dalam fenomena yang terjadi di depan mata. Yuk kita urai!
Pertama, pendirian RSNU Jepara sifatnya tentu sangat antropologis (tidak transenden). Sebab, partisipasi masyarakat sangat kuat di sana. Apalagi ada tafsir agama dalam pelibatan masyarakat dalam RSNU: wakaf. Kang Hadi belepotan mengungkap "shomadaniyatul uqul" dalam logic-apologic atas tafsir benarnya "Penamaan RSU Anugerah Sehat". Belum lunas menjelaskan apa itu "shomadaniyatul uqul", ia keburu berapologi: mereka yang "pembawur" harus "dipahamkan" dan "diajak ngopi". Mbingungi.
Kedua, secara sosiologis, berubahnya RSNU menjadi RSU perlu ditafakkuri bersama karena kejadian tersebut, diakui atau tidak, mengundang syubhat terkait tujuan hidup bersama (maslahat dan bahagia bersama). Tujuan mengurai sosiologisnya adalah agar sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui, menjadi diketahui, atau, pengetahuan yang ada, mulai muncul diketahui sebagai pengetahuan bersama. Inilah fungsi tafakur secara sosiologis. Bila hal ini dilanggar, ada "dam" atau kafarat sosial yang ditebus, laiknya puasa dan jenis ibadah ghoiru mahdhoh lainnya (dalam syariat fiqih).
Ketiga, secara filosofis, surat dari PCNU Jepara menulis kalau RSU adalah pilihan nama agar dinilai tidak esklusif (dan bisa merangkul semua pihak). Ini bisa menyisakan problem bila sudut pandang induktif dan historisnya diungkap. Misalnya, selain dia (?), mengapa personil yang sowan tidak ditulis lengkap? Transkipnya seperti apa, juga tidak ada.
Keempat, secara historis, fenomena penamaan RSU Anugerah Sehat sangat perlu ditafakkuri mengingat kontradiksi faktual yang ada. Pasalnya, di surat pemberitahuan PCNU Jepara nomor 0341/PC/A.I.a/H-08/VI/2023, nama yang ditafakkuri dibuat ganda. Ada ziyadah kata "dan" untuk pilihan nama, di surat tersebut. Sementara itu, dari Pekalongan hanya muncul satu usulan nama saja, yakni: Yayasan Anugerah Sehat Jepara. Usulan mengganti nama RSNU menjadi RSU tidak tertulis. Apakah hal itu masuk bab tahrif khobar hadits?
Mana yang benar? Bila saya ditanya demikian, jawabannya: pikiren dewe! Kalaupun boleh berimajinasi seperti Kang Murtadho Hadi terkait "shomadaniyyatul uqul", yang pas barangkali haruslah mengikuti teks tertulis tangan. Ora perlu tambahan maning. Bukan mengikuti teks tertulis komputer. Syubhat penamaan RSU (bukan Anugerah Sehat -sebagaimana tertulis tangan) makin perlu ditafakkuri secara induktif, apalagi,
Kelima, unsur psikologis dalam syubhat penamaan RSU makin kelihatan dengan keluarnya kalimat "nek gak percoyo, sowan dewe". Kalimat itu, secara psikologis jelas menutup jama'ah untuk mengamalkan dawuh اَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوْا فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ (QS. Ar-Rum: 08) di tengah situasi قُلُوْبُنَا فِيْٓ اَكِنَّةٍ (QS. Fusshilat: 05). Ada celah, tapi ditutup secara psikologis. Akhirnya, banyak kiai dengan maqomat ahwal yang berbeda-beda, ora wani muni. Begitu.[]
PRAKTIK LAZIM WAKAF KOLEKTIF TANAH
NADHIR DKM Masjid Baitus Sihat melihat perlunya perluasan lahan masjid dengan alasan, Jumatan makin ramai. Dia bersama pengurus lainnya mengadakan rapat. Hasil musyawarah memutuskan, tanah sebelah masjid harus dibeli. Luasnya 500 meter. Harga per meter 650 ribu. Jadi, dana yang dibutuhkan untuk pembebasan lahan sebelah masjid senilai Rp. 325 juta.
DKM Masjid Baitus Sihat melobi pemilik tanah. Pemilik sepakat melepaskan tanah tersebut untuk masjid. Dia mewakafkan 50 meter dari total 500 meter yang akan dibeli DKM. Jadi, pihak DKM hanya butuh Rp. 292.5 juta saja untuk dapat tanah seluas 500 meter. Pemilik tanah memberi tempo pelunaskan selama setahun kepada DKM.
Untuk mempercepat pelunasan, para ketua RT dan RW lingkungan Masjid Baitus Sihat dikumpulkan oleh pihak DKM. Melalui lingkungan, DKM meminta setidaknya ada 585 orang yang bersedia ikrar menjadi wakif (orang yang wakaf) untuk masjid dengan wakilnya: DKM. Karena komunikasinya baik, pihak RT dan RW sepakat bekerjasama dan berhasil mengumpulkan ratusan nama calon wakif yang siap ikrar memberikan hartanya untuk calon tanah wakaf masjid tersebut.
Agar ringan, pihak RT dan RW meminta sistem bayar angsuran Rp. 100 ribu/orang/bulan, dimana dana tersebut ditabung dulu ke rekening BMT (yang sudah dikerjasamakan pihak DKM). Butuh waktu lima bulan berturut-turut.
Tapi, dengan begitu, dana dari 585 orang (by name, by adress: yang bersedia wakaf), akan terkumpul secara jama'i (kolektif) selama lima bulan. Lebih cepat dari permintaan pemilik tanah, setahun.
Setelah lima bulan, dari 585 orang tersebut ternyata ada 100an orang yang menunggak belum bisa membayar karena alasan masing-masing. Sebagai toleransi, pihak DKM memberi tenggat waktu dua bulan agar 100an orang tersebut segera melunasi ikrar wakaf kolektif dengan keikhlasan penuh.
Setelah 5 bulan ditambah 2 bulan masa toleransi, DKM akhirnya berhasil mengumpulkan dana senilai Rp. 292.5 juta. Tanah langsung lunas. DKM pun merespon dan bertindak cepat. Mereka mengajak pemilik hak tanah ke PPAIW. Akta ikrar wakaf diterbitkan. Urusan sertifikat tanah di BPN pun rampung. Clear. Konflik dan kecurigaan tidak ada. Jumatan pun makin khusyu'.
DKM senang, warga RT dan RW pun diberi kesempatan beramal wakaf dengan penuh transparansi, dan pihak Bank merasa diuntungkan mendapat suntikan tabungan dalam tempo 7 bulan terakhir. Inilah salah satu praktik lazim dalam wakaf kolektif di Indonesia.
Pertanyaan:
RSNU Jepara yang nadhirnya adalah yayasan (cq. ketua), praktiknya begitu atau tidak? Kalau tidak, secara fiqih, bagaimana hukum meminjam dana BMT berbunga riba untuk membayar tanah calon wakaf, lalu pelunasannya dibebankan dan dipaksakan secara kolektif kepada pihak-pihak yang tidak mengetahui persis rencana tersebut?
Untuk menjawab hukum syari'ah terkait wakaf kolektif ini, pihak LBM PCNU Jepara harusnya menggelar Bahtsul Masa'il terlebih dahulu sebelum panitia bergerak mencari dana atau sebelum "dikuasai" oleh pihak nadhir yang baru muncul di akhir setelah banyak sertifikat dijaminkan ke BMT.
Oh ya, apa LBM NU Jepara sudah pernah menggelar Bahtsu secara umum sejak Muktamar ke-34 di Bandar Lampung (2021)? Mboh lah.
M. Abdullah Badri,
Ketua Rijalul Ansor GP. Ansor Kab. Jepara
COMMENTS