Cara Mengklasifikasi Ilmu. Menuntut ilmu agama yang pokok adalah fardlu 'ain bagi setiap muslim (dan muslimah) (HR al Baihaqi)
Dari segi hukum mempelajarinya bagi seorang muslim, ilmu secara umum terbagi menjadi dua:
1. Ilmu yang hukum mempelajarinya fardlu ‘ain.
2. Ilmu yang hukum mempelajarinya fardlu kifayah.
Ilmu yang hukum mempelajarinya fardlu ‘ain artinya ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim yang sudah baligh dan berakal, tidak boleh diwakilkan.
Disebut dengan istilah علم الدين الضروري _(’ilmuddiin adl-dlaruuriy)_, karena ilmu tersebut adalah ilmu agama yang _dlaruriy_ (ilmu agama yang pokok atau dasar yang sangat dibutuhkan dan wajib dipelajari oleh setiap orang yang sudah baligh dan berakal)
Disebut juga علم الحال _(’ilmul haal)_, karena ilmu tersebut adalah ilmu yang yang saat ini juga wajib dipelajari oleh orang yang sudah baligh dan berakal, tidak boleh ditunda. _Haal_ artinya adalah waktu sekarang, seketika ini juga, bukan waktu yang akan datang.
Ilmu yang hukum mempelajarinya fardlu ‘ain, di antaranya:
- Ilmu aqidah yang meliputi pengetahuan tentang makna dua kalimat syahadat, perkara-perkara paling penting dalam masalah keimanan, hal-hal yang membatalkan keimanan, hukum-hukum dasar terkait riddah dan murtad, dan lain-lain.
- Ilmu tentang hukum yang meliputi pengetahuan terkait hukum-hukum dasar seputar bersuci, shalat dan puasa. Begitu juga pengetahuan terkait hukum-hukum dasar seputar zakat bagi yang mampu, haji dan umrah bagi yang mampu, mu’amalat (jual beli, sewa menyewa dan semacamnya) bagi yang ingin melakukannya, hukum-hukum dasar seputar pernikahan bagi yang ingin melakukannya dan lain-lain.
- Ilmu tentang kewajiban dan maksiat hati.
- Ilmu tentang maksiat anggota badan yang meliputi maksiat mata, hidung, lisan, telinga, farji, kaki dan maksiat badan (dilakukan oleh segenap anggota badan, bukan salah satu anggota badan)
- Ilmu tentang taubat.
- Begitu juga ilmu tentang perkara-perkara sunnah jika seseorang ingin melakukannya. Karena seseorang tidak boleh masuk dalam suatu perkara sehingga ia mengetahui hukum-hukum dasar terkait perkara yang akan dilakukan.
Sedangkan ilmu yang hukum mempelajarinya fardlu kifayah, jika sudah dipelajari sebagian umat Islam, maka gugur kewajiban mempelajarinya bagi sebagian yang lain. Ilmu yang fardlu kifayah ini, di antaranya:
- Ilmu fiqih yang terperinci, ilmu ushul fiqih, ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu tentang pembagian warisan, ilmu nahwu, ilmu sharaf dan lain sebagainya.
- Semua ilmu yang bermanfaat bagi kepentingan dan kemaslahatan umat Islam, seperti ilmu kedokteran, ilmu pertukangan besi, ilmu pertukangan kayu dan lain sebagainya.
Allah ta’ala berfirman:
(یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ قُوۤا۟ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِیكُمۡ نَارࣰا)
Maknanya: "Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka" (QS at Tahrim: 6)
Al Qusyairi menuturkan bahwa ketika turun ayat ini, Sayyidina Umar bin al Khatthab radliyallahu 'anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: Kami dapat menjaga diri kami, bagaimana kami menjaga keluarga kami?.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
تَنْهَوْنَهُمْ عَمَّا نَهَاكُمُ اللَّهُ وَتَأْمُرُونَهُمْ بِمَا أَمَرَ
"Kalian larang mereka dari apa yang dilarang Allah dan kalian perintah mereka dengan apa yang Dia perintahkan"
Al Hakim meriwayatkan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan:
علموا أنفسكم وأهليكم الخير
"Ajarilah diri kalian dan keluarga kalian kebaikan"
Yang dimaksud kebaikan di sini adalah ilmu agama. Karena yang bermanfaat untuk kita di akhirat hanyalah taqwa dan amal shalih. Keduanya tidak dapat diperoleh kecuali dengan jalan menuntut ilmu agama dan mengamalkannya.
Jadi menjaga diri dari api neraka adalah dengan belajar ilmu agama dan mengamalkannya. Menjaga keluarga dari api neraka adalah dengan mengajarkan ilmu agama kepada mereka dan menyuruh mereka untuk mengamalkannya.
Apakah masing-masing dari kita wajib belajar semua ilmu agama?.
Tidak. Karena ilmu agama itu sangat luas bagaikan samudera yang tiada bertepi. Kita tidak mungkin mampu mempelajari dan menguasai semuanya.
Yang wajib bagi setiap kita yang telah baligh dan berakal adalah mempelajari bagian ilmu agama tertentu yang disebut dengan istilah _ilmuddiin adl-dlaruuriy_ (ilmu agama yang pokok/dasar).
Bagian ilmu agama ini mengajarkan kepada kita apa saja yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, dan apa saja yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi bersabda:
طَلَبُ العِلمِ فريضَةٌ على كلّ مُسلِمٍ (رواه البيهقي)
Maknanya: "Menuntut ilmu agama yang pokok adalah fardlu 'ain bagi setiap muslim (dan muslimah)" (HR al Baihaqi)
METODE MENUNTUT ILMU AGAMA
1. Supaya memperoleh ridla dan pahala dari Allah, menuntut ilmu agama harus dilandasi dengan niat murni karena Allah ta’ala.
Allah ta’ala berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ (سورة البيّنة: 5)
Maknanya: “Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya” (QS al Bayyinah: 5)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ طَلَبَ العِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ العُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِليهِ أَدخَلَهُ اللهُ النَّارَ (رواه أحمد والترمذي)
Maknanya: “Barangsiapa menuntut ilmu dengan tujuan untuk mendebat dan menandingi para ulama atau mendebat dan mengolok-olok orang-orang bodoh atau untuk menarik perhatian manusia kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke neraka” (HR at Tirmidzi)
2. Agar cepat menghafal dan tidak mudah lupa, jauhi seluruh dosa dan maksiat.
Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata:
إِنِّي لَأَحْسَبُ الرَّجُلَ يَنْسَى الْعِلْمَ كَانَ يَعْلَمُهُ لِلْخَطِيْئَةِ يَعْمَلُهَا
"Aku menduga dengan kuat bahwa seseorang lupa akan ilmu yang pernah ia ketahui dikarenakan dosa yang ia lakukan”
3. Talaqqi (belajar langsung secara berhadap-hadapan) kepada guru yang bersanad (memiliki mata rantai keilmuan yang bersambung hingga Rasulullah), tidak dengan cara membaca sendiri tanpa bimbingan seorang guru.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يا أيُّهَا النَّاسُ تَعَلَّمُوْا فَإنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ والفِقْهُ بِالتَّفَقُّهِ (رواه الطبراني وغيره)
Maknanya: “Wahai manusia, belajarlah karena ilmu itu hanya diperoleh dengan proses belajar (kepada seorang guru)” (HR ath Thabarani dan lain-lain)
As Syaikh Muhammad bin Sirin berkata:
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu agama ini adalah bagian dari agama itu sendiri, maka telitilah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam mukadimah Shahih Muslim)
Syaikh ‘Abdullah bin al Mubarak berkata:
الإسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ وَلَوْ لَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Sanad itu bagian dari agama, seandainya tidak ada sanad maka siapa pun bisa berbicara dengan perkataan apa pun.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam mukadimah Shahih Muslim)
Rasulullah belajar dari Jibril. Para sahabat belajar kepada Nabi. Para tabi’in belajar kepada para sahabat. Dan begitu seterusnya.
Sebagian ulama salaf berkata:
لَا تَأْخُذُوا العِلْمَ مِنَ الصُّحُفِيِّيْنَ وَلَا تَقْرَؤُوا القُرْءَانَ عَلَى الْمُصْحَفِيِّيْنَ
“Janganlah mengambil ilmu dari orang-orang yang belajar ilmu dari lembaran-lembaran buku secara otodidak, dan janganlah mengambil ilmu baca al Qur’an kepada orang-orang yang belajar sendiri dari mushaf secara otodidak.” (Tarikh Ibn ‘Asakir)
Akibat Tidak Talaqqi
Pernah terjadi di suatu daerah, seseorang hanya menelaah kitab Shahih al Bukhari secara otodidak tanpa bimbingan seorang guru yang bersanad. Ketika membaca sebuah hadits dalam kitab Shahih al Bukhari, ia kemudian mengucapkan kata-kata yang menyebabkan dia keluar dari Islam karena telah menisbatkan dosa besar kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ia mengatakan: Bagaimana kalian mengatakan bunuh diri itu haram padahal Rasulullah pernah ingin melakukan bunuh diri. Wal 'Iyadzu billah. Inilah akibat belajar ilmu agama secara otodidak.
Tidak ada satu pun hadits dalam Shahih al Bukhari yang menjelaskan bahwa Rasulullah ingin bunuh diri. Dia salah dalam memahami sebuah hadits.
Hadits yang ia baca menceritakan bahwa ketika terjadi fatrah al wahyi (masa berhentinya turun wahyu beberapa lama), Rasulullah berkeinginan untuk menjatuhkan dirinya dari puncak gunung.
Penjelasannya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meyakini jika beliau melakukannya, maka hal itu sama sekali tidak membahayakan diri beliau. Beliau hanya ingin meringankan rasa rindu yang sangat mendalam pada turunnya wahyu kembali. Bukan karena ingin bunuh diri.
COMMENTS