Kata Salafi atau Salafiyah yang Mengecoh Nahdliyin. Penggunaan kata salaf dan salafi tersebut tak lain dan tak bukan adalah untuk mengelabui umat islam yang masih awam.
Telah bertahun-tahun di Indonesia kata "SALAFI" atau "SALAFIYAH" melekat kuat sebagai identitas kaum tradisionalis atau Nahdhiyin. Pondok-pondok pesantren yang identik dengan kaum tradisionalis selalu memperlihatkan term/kata tersebut pada nama pondok-pondok yang didirikannya. Sehingga ketika disebut Pesantren Salaf, maka yang dimaksud adalah pesantren tradisionalis yang mengajarkan kitab-kitab kuning karya para ulama salaf yang dalam bidang aqidah menganut faham Asy'ari dan dalam fiqih menganut mafzhab Syafi'i dan dalam Tasawuf menganut Al Junaid dan Al Ghazali. Karena secara istilah, pengertian salafi/Salafi adalah ulama pada generasi 3 abad pertama hijriyah yang diyakini membawa ajaran Islam yang masih murni seperti imam-imam yang dikenal sampai sekarang, yaitu imam Hanafi, imam Syafii Al Asy'ari dan lainnya.
Namun dalam beberapa tahun terakhir tanpa kita sadari, kata Salafi menjadi term sebuah kelompok neo Salafi Wahabi. Argumen mereka atas klaim salafi adalah karena mereka sebagai pengikut ajaran Ibn Taimiyah dalam bidang teologi. Padahal ibnu Taimiyah bukanlah tergolong ulama salaf, tapi ia adalah ulama khalaf, sebab ia hidup di abad 7 H.
Selain itu, menurut para ulama, Ibn Taimiyah banyak menyalahi ijma' dalam berbagai masalah agama, sehingga para ulama di masanya, dan juga sesudahnya, banyak yang memerangi paham-pahamnya dan menganggap dia pembawa ajaran baru dan ahli bid'ah dlolalah.
Kelompok salafi yang muncul belakangan tersebut itu, selain mempermasalahkan bacaan-bacaan tahlil, juga menggugat ketokohan imam Al Ghazali dan membongkar kedustaan kitab Ihya ulumiddin. Mereka mengatakan bahwa Al Ghazali tidak pantas dijadikan panutan umat islam karena telah menyebarkan ajaran sesat lantaran banyak menggunakan hadis dhaif sebagai hujjah dan sebagai pendapatnya.
Memang kita sebagai warga nahdliyin mengakui bahwa dalam kitab Ihya terdapat beberapa hadis yang dikategorikan sebagai hadis dhaif, namun hal itu tidak mengurangi bobot dan nilai kitab dimaksud. Apalagi para ulama telah mememberikan beberapa catatan tentang hadis-hadits tersebut, Al Ghazali pun sebenarnya hanya menjadikan hadis dhaif sebagai penguat semata. Sedangkan pijakan utamanya tetap Al Qu'ab dan hadis yang shahih.
Penggunaan kata salaf dan salafi tersebut tak lain dan tak bukan adalah untuk mengelabui umat islam yang masih awam. Hal ini dengan tujuan agar mau dan mengikuti mereka. Bahkan mereka berani menuduh Imam Al Ghazali sebagai tokoh yang dianggapnya sesat namun disisi lain mereka menggunakan nama Al Ghazali di beberapa kegiatan dan majlisnya. Oleh karena itu, sebagai warga nahdliyin warga jepara haruslah berhati hati dalam membaca salaf dan salafi baru baru ini.
Namun dalam beberapa tahun terakhir tanpa kita sadari, kata Salafi menjadi term sebuah kelompok neo Salafi Wahabi. Argumen mereka atas klaim salafi adalah karena mereka sebagai pengikut ajaran Ibn Taimiyah dalam bidang teologi. Padahal ibnu Taimiyah bukanlah tergolong ulama salaf, tapi ia adalah ulama khalaf, sebab ia hidup di abad 7 H.
Selain itu, menurut para ulama, Ibn Taimiyah banyak menyalahi ijma' dalam berbagai masalah agama, sehingga para ulama di masanya, dan juga sesudahnya, banyak yang memerangi paham-pahamnya dan menganggap dia pembawa ajaran baru dan ahli bid'ah dlolalah.
Kelompok salafi yang muncul belakangan tersebut itu, selain mempermasalahkan bacaan-bacaan tahlil, juga menggugat ketokohan imam Al Ghazali dan membongkar kedustaan kitab Ihya ulumiddin. Mereka mengatakan bahwa Al Ghazali tidak pantas dijadikan panutan umat islam karena telah menyebarkan ajaran sesat lantaran banyak menggunakan hadis dhaif sebagai hujjah dan sebagai pendapatnya.
Memang kita sebagai warga nahdliyin mengakui bahwa dalam kitab Ihya terdapat beberapa hadis yang dikategorikan sebagai hadis dhaif, namun hal itu tidak mengurangi bobot dan nilai kitab dimaksud. Apalagi para ulama telah mememberikan beberapa catatan tentang hadis-hadits tersebut, Al Ghazali pun sebenarnya hanya menjadikan hadis dhaif sebagai penguat semata. Sedangkan pijakan utamanya tetap Al Qu'ab dan hadis yang shahih.
Penggunaan kata salaf dan salafi tersebut tak lain dan tak bukan adalah untuk mengelabui umat islam yang masih awam. Hal ini dengan tujuan agar mau dan mengikuti mereka. Bahkan mereka berani menuduh Imam Al Ghazali sebagai tokoh yang dianggapnya sesat namun disisi lain mereka menggunakan nama Al Ghazali di beberapa kegiatan dan majlisnya. Oleh karena itu, sebagai warga nahdliyin warga jepara haruslah berhati hati dalam membaca salaf dan salafi baru baru ini.
COMMENTS