Bid'ah hasanah ternyata memiliki akar dan landasan hukum yang sangat kuat dalam prinsip dasar hukum syari'at, yakni melalui konsep Sunnah taqririyah dan Ijma' serta juga qiyas.
Dizaman Nabi, ternyata sering terjadi beberapa sahabat melakukan perbuatan yang tak pernah dilakukan Nabi dan tanpa bertanya kepada Nabi, tetapi perbuatan itu kemudian direspon dan ditetapkan menjadi ajaran oleh Nabi. Diantara contohnya, diriwayatkan oleh Imam At Turmudzi bahwa sahabat Rifa'ah suatu hari ketika sedang melalukan shalat maghrib bersama Nabi, ujug-ujug dia bersin, lalu ia membaca:
الحمد لله- حمدا-طيبا- مباركا- فيه -مباركا- عليه- كما- يحب- ربنا- ويرضى.
Selesai salam bershalat, Nabi bertanya sampai tiga kali: "Siapa gerangan yang membaca dzikir hamdalah tadi? "
Bacalagi: Kata Salafi atau Salafiyah yang Mengecoh Nahdliyin
Dengan penuh khawatir,
Rifa'ah menjawab: "Saya".
Nabi lalu bersabda: "Demi Dzat yang aku dalam kuasa-Nya, sungguh kalimat tersebut dijadikan bahan rebutan oleh Malaikat yang lebih dari 30 yang masing-masing ingin pertama kali lebih dulu membawanya naik".
Demikian pula imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa seseorang masuk dalam shalat dan membaca:
الحمد- لله- ملء-السماء
Lalu orang tersebut membaca Tasbih dan berdo'a.
Nabi lalu bertanya: "Siapa yang mengucapkan kalimat tersebur?"
Orang itu menjawab: "Saya".
Nabi pun bersabda: "Sungguh aku melihat para malaikat saling berebut mencatat kalimat tersebut".
Begitu pula apa yang terjadi pada sahabat Bilal bin Rabbah. Menurut riwayat Ibn Majah, diceritakan dari Bilal, bahwa suatu ketika diwaktu subuh, Bilal mendatangi Nabi untuk adzan shalat subuh. Seorang sahabat lalu memberitahu Bilal bahwa Nabi masih sedang tidur. Maka bilal berkata:
الصلاة- خير- من- النوم
Kemudian kalimat itupun ditetapkan dalam adzan Subuh dan tetap berlangsung seterusnya
Para shohabat tersebut melakukan perbuatan-perbuatan tersebut tanpa minta izin atau bertanya terlebih dahulu kepada Nabi. Lantaran karena perbuatan-perbuatan sahabat tersebut dianggap baik oleh Nabi, maka beliau tidak melarangnya bahkan justru merespon dengan baik perbuatan-perbuatan tersebut.
Tetapi jika seorang sahabat melakukan perbuatan yang tidak pernah dilakukan Nabi, dan perbuatan itu dianggap buruk atau kurang baik lantaran bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam atau tidak sesuai dengan asas-asas yang dibuat pedoman oleh agama Islam, maka pebuatan itu tidak diboleh dilakukan.
Bacalagi: Asal Muasal dan Manfaat Lailatul Ijtima Tradisi NU
Misalnya: Ketika para sahabat mencaci Tuhannya orang-orang musyrik, maka ada ayat turun kepada Nabi yang melarang tindakan tersebut. Karena orang-orang kafir akan membalas cacian kepada Tuhannya kaum muslimin.
Demikian pula ketika sahabat Mu'adz bin Jabal suatu ketika menjadi imam shalat isya dengan membaca surat yang amat panjang, yakni Surat Al Baqarah diraka'at pertama, lalu dirakaat kedua membaca surat yang lebih dari 100 ayat, maka Nabi menegurnya. Karena ajaran islam itu sedang-sedang, tidak memberatkan umat. Orang boleh saja melakukan shalat dengan membaca surat yang amat panjang, tetapi hanya ketika ia melakukan shalat sendirian atau sebelumnya memberi tahu kepada para makmum dan merka menyatakan rela.
Dalam ilmu Usul fiqh, perbuatan yang dilakukan sahabat tanpa bertanya terlebih dahulu kepada Nabi, padaha Nabi tidak pernah melakukannya sebelum itu. disebut dengan: "Sunnah/hadits Taqririyah", atau Sunnah berdasarkan pengakuan Nabi, yakni sunnah Nabi yang latar belakang kemunculannya adalah perilaku para sahabat Nabi. Merekalah yang menginisiasi suatu perbuatan dan merekalah yang berinovasi, lalu disampaikan kepada Nabi, atau dilihat, disaksikan atau didengar oleh Nabi lalu Nabi meresponnya.
Jadi Sunnah Hasanah atau Sunnah Taqririyah itu hakikat materinya bukan bersumber dari Nabi, tetapi dari sahabat Nabi. Jadi merip dengan apa yang disebut Bid'ah hasanah sekarang ini. Hanya saja ketika dizaman, tak ada istilah "Bid'ah hasanah", tetapi "Sunnah hasanah" atau "Sunnah taqririyah".
Lalu bagaimanakah jika Sunnah hasanah itu baru muncul setelah Nabi wafat? Masih kah logika itu dipakai?
Logika itu tentunya masih bisa berlaku. Sebab sepeninggal Nabi, untuk mendapatkan taqrir tersebut dapat digantikan dengan konsep "Ijma'", baik Ijma' sharih atau Ijma' sukuti.
Jadi Bid'ah hasanah ternyata memiliki akar dan landasan hukum yang sangat kuat dalam prinsip dasar hukum syari'at, yakni melalui konsep Sunnah taqririyah dan Ijma' serta juga qiyas.
الحمد لله- حمدا-طيبا- مباركا- فيه -مباركا- عليه- كما- يحب- ربنا- ويرضى.
Selesai salam bershalat, Nabi bertanya sampai tiga kali: "Siapa gerangan yang membaca dzikir hamdalah tadi? "
Bacalagi: Kata Salafi atau Salafiyah yang Mengecoh Nahdliyin
Dengan penuh khawatir,
Rifa'ah menjawab: "Saya".
Nabi lalu bersabda: "Demi Dzat yang aku dalam kuasa-Nya, sungguh kalimat tersebut dijadikan bahan rebutan oleh Malaikat yang lebih dari 30 yang masing-masing ingin pertama kali lebih dulu membawanya naik".
Demikian pula imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa seseorang masuk dalam shalat dan membaca:
الحمد- لله- ملء-السماء
Lalu orang tersebut membaca Tasbih dan berdo'a.
Nabi lalu bertanya: "Siapa yang mengucapkan kalimat tersebur?"
Orang itu menjawab: "Saya".
Nabi pun bersabda: "Sungguh aku melihat para malaikat saling berebut mencatat kalimat tersebut".
Begitu pula apa yang terjadi pada sahabat Bilal bin Rabbah. Menurut riwayat Ibn Majah, diceritakan dari Bilal, bahwa suatu ketika diwaktu subuh, Bilal mendatangi Nabi untuk adzan shalat subuh. Seorang sahabat lalu memberitahu Bilal bahwa Nabi masih sedang tidur. Maka bilal berkata:
الصلاة- خير- من- النوم
Kemudian kalimat itupun ditetapkan dalam adzan Subuh dan tetap berlangsung seterusnya
Para shohabat tersebut melakukan perbuatan-perbuatan tersebut tanpa minta izin atau bertanya terlebih dahulu kepada Nabi. Lantaran karena perbuatan-perbuatan sahabat tersebut dianggap baik oleh Nabi, maka beliau tidak melarangnya bahkan justru merespon dengan baik perbuatan-perbuatan tersebut.
Tetapi jika seorang sahabat melakukan perbuatan yang tidak pernah dilakukan Nabi, dan perbuatan itu dianggap buruk atau kurang baik lantaran bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam atau tidak sesuai dengan asas-asas yang dibuat pedoman oleh agama Islam, maka pebuatan itu tidak diboleh dilakukan.
Bacalagi: Asal Muasal dan Manfaat Lailatul Ijtima Tradisi NU
Misalnya: Ketika para sahabat mencaci Tuhannya orang-orang musyrik, maka ada ayat turun kepada Nabi yang melarang tindakan tersebut. Karena orang-orang kafir akan membalas cacian kepada Tuhannya kaum muslimin.
Demikian pula ketika sahabat Mu'adz bin Jabal suatu ketika menjadi imam shalat isya dengan membaca surat yang amat panjang, yakni Surat Al Baqarah diraka'at pertama, lalu dirakaat kedua membaca surat yang lebih dari 100 ayat, maka Nabi menegurnya. Karena ajaran islam itu sedang-sedang, tidak memberatkan umat. Orang boleh saja melakukan shalat dengan membaca surat yang amat panjang, tetapi hanya ketika ia melakukan shalat sendirian atau sebelumnya memberi tahu kepada para makmum dan merka menyatakan rela.
Dalam ilmu Usul fiqh, perbuatan yang dilakukan sahabat tanpa bertanya terlebih dahulu kepada Nabi, padaha Nabi tidak pernah melakukannya sebelum itu. disebut dengan: "Sunnah/hadits Taqririyah", atau Sunnah berdasarkan pengakuan Nabi, yakni sunnah Nabi yang latar belakang kemunculannya adalah perilaku para sahabat Nabi. Merekalah yang menginisiasi suatu perbuatan dan merekalah yang berinovasi, lalu disampaikan kepada Nabi, atau dilihat, disaksikan atau didengar oleh Nabi lalu Nabi meresponnya.
Jadi Sunnah Hasanah atau Sunnah Taqririyah itu hakikat materinya bukan bersumber dari Nabi, tetapi dari sahabat Nabi. Jadi merip dengan apa yang disebut Bid'ah hasanah sekarang ini. Hanya saja ketika dizaman, tak ada istilah "Bid'ah hasanah", tetapi "Sunnah hasanah" atau "Sunnah taqririyah".
Lalu bagaimanakah jika Sunnah hasanah itu baru muncul setelah Nabi wafat? Masih kah logika itu dipakai?
Logika itu tentunya masih bisa berlaku. Sebab sepeninggal Nabi, untuk mendapatkan taqrir tersebut dapat digantikan dengan konsep "Ijma'", baik Ijma' sharih atau Ijma' sukuti.
Jadi Bid'ah hasanah ternyata memiliki akar dan landasan hukum yang sangat kuat dalam prinsip dasar hukum syari'at, yakni melalui konsep Sunnah taqririyah dan Ijma' serta juga qiyas.
COMMENTS