Dasar Berdirinya Nahdlatul Ulama di Indonesia. Karena sebagaimana telah dituturkan bahwa NU dulu didirikan, adalah untuk menangkal radikalisme itu.
Ketika Indonesia masih dalam cengkraman penjajahan oleh Belanda, di awal abad 20, di Indonesia ini berdirilah berbagai macam organisasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan dimana organisasi ini dapat menggerakkan para anggota-nya untuk tujuan yang sama yaitu Indonesia merdeka. Semangat juang tinggi ini dilandasi dengan penjajahan Belanda sudah sejak akhir abad 16 sampai saat itu yang menjadikan Indonesia adalah daerah kolonialnya.
Belanada juga sudah sangat seringkali berbuat sewenang-wenang terhadap rakyat Indonesia. Belanda yang juga menguasai tanah air ini tidak hanya bermaksud mengambil dan mengeruk kekayaan bumi nusantara semata, akan tetapi juga Belanda membawa misi Kristen yang ditanamkan kepada rakyat dan bangsa Indonesia. Padahal Indonesia sudah menjadi mayoritas memeluk Islam itu.
Itulah sebabnya, pada setiap saat di seluruh pelosok negeri ini terjadi berbagai peristiwa perlawanan kepada penjajah Belanda. Namun gerakan-gerakan perlawanan itu satu per satu bisa ditumbangkan oleh penjajah Belanda. Hal ini Belanda sudah maju dalam segi kebudayaan, peralatan dan taktik strategi/siasat perangnya walaupun demikian tetap banyak mengorbankan para serdadunya.
Rakyat tetap tak menyerah, semangat terus berkobar, semangat para pejuang yang sudah tidak lagi bisa menahan hidup dibawah tekanan penjajahan. Sehingga seuatu ketika di awal abad 20 itu, mulai muncul dengan membentuk semacam organisasi masyarakat (ormas) dan juga keagamaan. Organisasi yang dibentuk oleh warga tanah air ini mulai dari ormas "Budi Utomo", ormas ini didirikan pada 1908 di Jakarta. Kemudian muncul lagi ormas Islam yang bernama "Syarekat Dagang Islam" atau disingkat SDI, yang didirikan pada 1911. Muncul kemudian Syarekat Islam (PSI) pada 1911 yang kemudian melebur menjadi Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII). Organisasi keagamaan yang bernama Muhammadiyah muncul tahun 1912, Muhammadiyah ini dibentuk oleh K.H. Ahmad Dahlan.
Di masa masa itu, terjadi perselisihan di tanah Hijaz (yaitu di kawasan kota Makkah, Madinah dan juga Jeddah), peristiwa itu terjadi semacam pergolakan pemimpin di pemerintahan. Pada 1920 M, Syarif Hussain, Sang raja "Hijaz", yang wilayahnya masih di bawah kekuasaan kesultanan Turki, Ia mengangkat dirinya sebagai pemimpin/khalifah untuk kaum muslimin di Arab. Kekholifahannya dipusatkan di kota Makkah dan akhirnya memisahkan diri dari kekuasaan kesultanan Turki.
Akan tetapi, Abdul Aziz bin Saud (1876-1953) yang sudah menjadi penguasa di Najed (yaitu kawasan Riyadh), ia menganggap bahwa Syarif Husein yang mengaku sebagai raja tersebut tidak mementingkan kemerdekaan dan persatuan tanah Arab. Sementara itu, Hussain yang merupakan penganut AhlusSunnah dengan mengikuti madzhab Hanafi, adalah orang yang dianggap sebagai penghalang Faham Wahabi yang disebarkan dan dianut oleh ibnu Saud.
Bahkan pengamalan ahlussunah di masyarakat Arab yang dianut syarif Hussein dianggap sebagai keburukan bid'ah dan khurofat. Sehingga muncul niat dan tekad ibnu Saud untuk segera melengserkan/menggulingkan Syarif Hussein dari singgasana tahta kerajaan kota Makkah. Kemudian tahun 1924, terjadi pertempuran yang hebat sampai tumpah darah antara pasukan Ibnu Saud yang melawan tentara Syarif Hussein. Pertempuran ini dapat mengendorkan pertahanan Syarif Hussain dan sedikit demi sedikit kota perlindungan Syarif Husain dapat dikuasi oleh tentara Ibnu Saud. Dengan dikuasainya kota makkah ini, Syarif Husein kemudian pergi meninggalkan tanah Hijaz ke tanah kepulauan Cyprus.
Syarif Ali, putra Hussein, kemudian menggantikan tahta ayahnya untuk bertahan, namun pertahanan tentaranya tidak lebih kuat dari pertahanan ayahnya. Lalu pada 1925, Syarif Ali terpaksa menyerah. Dengan menyerahnya Ali bin Husein maka tercapailah cita-cita Ibnu Saud untuk tujuan mempersatukan tanah Jazirah Arab yang berada dibawah pemerintah kekuasaannya. Dan kemudian Ibnu Saud mengganti tanah "Hijaz", yaitu negara yang dikuasainya menjadi nama negara Saudi Arabia. Nama ini diambil dari nama keluarganya, yaitu "Saud". Dan dikenal sampai sekarang negara Saudi Arabia dan Ibnu Saud didaulat sebagai Raja Saudi yang pertama.
Dengan kekuasaan penuh, Raja Saud Merombak total dari praktek keagamaan. mulai dari penegasan hukum-hukum, aturan di Saudi Arabia hanya menganut ajaran Wahabi yang dibawa oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787) dari Najed tersebut. Hal ini dikarenakan Ibnu Saud dari Najed. Kemudian Para tokoh paham wahabi ini menghabiskan segala bentuk yang dianggapnya (menurut wahabi) bid'ah, seperti tawassul, bacaan tahlil, istighosah, perayaan maulid Nabi dan sebagainya yang biasanya dilakukan oleh para penganut ahlussunnah waljamaah. Bahkan para tokoh mengecap dan menganggap Syirik kepada orang-orang yang melakukan amaliah tadi.
Dengan merebaknya ajaran wahabi tersebut, ajaran wahabi ini masuk ke Indonesia jauh sebelum Ibnu Saud mengusai Hijaz dari tangan Syarif Hussein. Ajaran Wahabi ini dibawa ke Indonesia oleh para siswa yang pernah belajar di tanah Hijaz sejak paham Wahabi diajarkan pada akhir abad 19.
Atas dasar inilah, pejuang membentuk ormas islam di Indonesia di awal abad 20. Di tahun awal awal tersebut banyak sekali ormas ormas islam yang ketika ceramah di depan umum selalu membid'ahkan para kyai pesantren yang mengamalkan tahlilan, ziarah kubur dan lainnya. Lebih pedas lagi mereka menganggap kyai ini ahli bid'ah dan khurofat serta lebih kejam lagi menganggap musyrik.
Dengan adanya peristiwa dan kejadian seperti ini, akhirnya para kyai kyai pesantren berkumpul untuk mencari solusi. Tahun 1921, di Indonesia terbentuk lembaga yang disebut "Kongres Al-Islam" yang sudah di dominasi terbanyak dari para tokoh dari kalangan yang berfaham wahabi ini. Lembaga ini mengadakan kongres perdananya di akhir tahun 1922.
Tahun 1926, terdapat undangan dari Panitia Muktamar Islam Se-Dunia yang bertempat di Kota Makkah Saudi Arabia. Sehingga tahun 1924, lembaga "Kongres Al Islam" kembali mengadakan Kongres keduanya untuk membahas tentang delegasi untuk dikirim ke Muktamar Dunia tersebut. Ketika Kongres Islami berlangsung, K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan juga beberapa kawannya mengajukan usulan agar dirinya dapat menjadi delegasi yang akan dikirim ke Muktamar dunia tersebut di kota Makkah. Hal ini sehingga menjadi media KH Abdul Wahab Hasbullah dapat mendesak Raja Ibnu Saud agar mau melindungi hak dalam bermadzhab yang sudah berjalan di tanah hijaz.
Akan tetapi usulan Kyai wahab tidak diperdulikan karena mungkin dari kalangan pesantren. Para tokoh dalam kongres islami tersebut nampaknya sudah bersepakat dengan ajaran yang ada di Arab saudi tersebut dan mendukung Ajaran Wahabi. Sehingga akhirnya, KH Wahab dan kawan-kawannya memutuskan untuk keluar dari "Kongres Al Islam". K.H. Wahab lalu mengambil tindakan inisiatif untuk membicarakan/musyarah tentang materi yang akan diusulkan itu kepada para ulama tua, yaitu dari Semarang, Pasuruan, Lasem dan Pati.
Dari hasil musyawarah dengan para ulama tua, K.H. Wahab membentuk lembaga Comite atau kepanitiaan sendiri yang diberi nama "Comite Hijaz". Kepanitiannya yaitu:
- Penasehat: K.H. Abdul Wahab, K.H. Masyhuri, K.H. Khalil.
- Ketua: H. Hasan Gipo.
- Wakil Ketua: H. Shaleh Syamil
- Sekretaris: M. Shadiq.
- Pembantu: K.H. Abdul Halim.
Tepat Pada 31 Januari 1926, Panitia Comite Hijaz berhasil mengundang para kyai terkemuka nusantara untuk berkumpul bermusyawarah dirumah K.H. Wahab Hasbullah. di Jln. Kertopaten Surabaya. Tamu undangan banyak yang hadir dalam acara musyawarah tersebut. Tamu undangan yang hadir adalah K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Bisri Syansuri, K.H. Maksum Lasem dan para tokoh kyai terkemuka dari pulau Jawa dan Madura.
Dalam acara musyawarah tersebut berhasil diputuskan beberapa permasalahan yaitu yang paling terpenting adalah segera diresmikannya panitia "Komite Hijaz" yang akan dikirimkan delegasi ke Muktamar Dunia di Saudi Arabia. Hal ini untuk meminta kepada Raja Saud untuk melindungi hak hak warga negara Indonesia yang ada di Saudi Arabia, baik itu hak bermadzhab dan lainnya.
Keputusan kedua adalah Para kiyai yang hadir dalam rapat musyawarah sepakat menunjuk kepada K.H. Raden Asnawi dari Kudus sebagai utusan/delegasi yang dikirimkan ke Muktamar Dunia di Makkah itu. Keputusan ke tiga dalam rapat tersebut adalah untuk segera membentuk Jam'iyah para kyai-kyai nusantara, para ulama, sebagai organisasi yang bertanggungjawa atas delegasi yang dikirim ke Muktamar Dunia tersebut.
Jam'iyah ini juga sebagai perkumpulan para kyai dan para pengikut kyai untu benar benar mempertahankan ajaran Ahlussunnah waljamaah Ays'ariyah Maturidiyyah di Bumi Nusantara. Sebagai Jam'iyah untuk persatuan para kyai untuk memimpin umat menuju kejayaan islam.
Sehingga, K.H. Mas Alwi Abdul Aziz ini mengusulkan nama Jam'iyah tersebut bernama "Nahdlatul Ulama" sementara itu K.H. Abdul Hamid, Sedayu Gresik juga mengusulkan nama "Nuhudlul Ulama". Akhirnya yang diterima oleh musyawirin adalah nama "Nahdlatul Ulama" dengan susunan Jam'iyah tersebut yaitu antara lain:
- Mustasyar: K.H. M Zubair, Syekh Ahmad Ghonaim Al Misri dan beberapa kyai lainnya.
- Rois Akbar Syuriyah: K.H. Hasyim Asy'ari dan beberapa kiyai lainnya sebagai Wakil dan A'wan
- Katib: K.H. Abdul Wahab Hasbullah, didampingi seorang wakil.
- Ketua Tanfidziyah: H. Hasan Gipo, didampingi seorang wakil
- Sekreteris: M Sidiq, dengan seorang wakil.
- Bendahara: H M. Burhan dengan seorang wakil.
Namun Tahun 1926 ini para delegasi terkendala teknis, sehingga tidak bisa menghadiri Muktamar Islam Dunia di Makkah. Kendala teknis tersebut adalah urusan transportasi. Namun NU tetap berjuang untuk bisa ke Saudi Arabia. Sehingga selang dua tahun, yakni awal 1928, NU berhasil mengirimkan delegasinya menghadap Raja Ibnu Saud. Akan tetapi, delegasi tidak jadi KH Asnawai, melainkan K.H. Wahab Hasbullah beserta Syekh Ahmad Ghonaim Al Misri. Kedua pejuang Aswaja ini berhasil bertemu Raja Saud dan hasil kunjungan adalah dibolehkan melaksanakan ibadah sserta pengajian yang berdasarkan dari empat madzhab di Masjid Al-Haram Makkah dan juga madinah (Tanah Hijaz).
Inilah dasar dasar berdirinya Nahdlatul Ulama dengan berbagai alasan dan juga pertimbangan. Ada dua alasan yang pokok dan vital yang melandasi berdirinya Ormas Islam bermana NU, yaitu:
1- Timbulnya keperluan yang mendesak bagi kaum Ahlis Sunnah penganut madzhab untuk melembagakan persatuan diantara mereka guna menghadapi pesatnya perkembangan gerakan pembaharuan Islam yang radikal di Indonesia dan berupaya mempertahankan tradisi keagamaan yang bersumber dari ajaran - ajaran imam madzhab yang dianut oleh para penganut Ahlus Sunnah.
2- Timbulnya keperluan yang mendesak untuk mengadakan audiensi guna menyampaikan resolusi dari kaum Ahlis Sunnah di Indonesia kepada penguasa baru di Saudi Arabia yang dipegang oleh dinasti Saud dari kelompok Wahabi. Resolusi itu meminta agar pemerintahan baru tersebut, tidak menghapus tradisi-tradisi yang dipandang sebagai ibadah oleh kaum Ahlis Sunnah wal Jama"ah.
Dengan dasar berdirinya NU tersebut, maka merupakan sebuah kewajiban bagi setiap warga NU di setiap generasi sekarang ini untuk tetap berjuang dan juga mepertahankan ajaran Ahlus Sunnah dan menanggulangi faham radikal sebagaimana dahulu diupayakan oleh para pendahulu, dengan berusaha menangkal tergerusnya warga nahdliyin oleh kelompok radikal yang kini dengan beragam cara.
Saat ini gerakan wahabi terlihat lebih massif daripada masa-masa dahulu. Sungguh sangat tragis jika organisasi para kiyai dan para pengikutnya yang telah menjadi ormas Islam terbesar ini, sampai menjadi kerdil dan tergerus oleh paham radikal hanya karena ketidak-pedulian para generasi Nahdliyin dalam upaya menjaga dan memproteksinya.
Karena sebagaimana telah dituturkan bahwa NU dulu didirikan, adalah untuk menangkal radikalisme itu.
Disadur dari tulisan KH Busyrol Karim Abdul Mughni, Rois Syuriah PCNU Kabupaten Kediri.
Belanada juga sudah sangat seringkali berbuat sewenang-wenang terhadap rakyat Indonesia. Belanda yang juga menguasai tanah air ini tidak hanya bermaksud mengambil dan mengeruk kekayaan bumi nusantara semata, akan tetapi juga Belanda membawa misi Kristen yang ditanamkan kepada rakyat dan bangsa Indonesia. Padahal Indonesia sudah menjadi mayoritas memeluk Islam itu.
Itulah sebabnya, pada setiap saat di seluruh pelosok negeri ini terjadi berbagai peristiwa perlawanan kepada penjajah Belanda. Namun gerakan-gerakan perlawanan itu satu per satu bisa ditumbangkan oleh penjajah Belanda. Hal ini Belanda sudah maju dalam segi kebudayaan, peralatan dan taktik strategi/siasat perangnya walaupun demikian tetap banyak mengorbankan para serdadunya.
Rakyat tetap tak menyerah, semangat terus berkobar, semangat para pejuang yang sudah tidak lagi bisa menahan hidup dibawah tekanan penjajahan. Sehingga seuatu ketika di awal abad 20 itu, mulai muncul dengan membentuk semacam organisasi masyarakat (ormas) dan juga keagamaan. Organisasi yang dibentuk oleh warga tanah air ini mulai dari ormas "Budi Utomo", ormas ini didirikan pada 1908 di Jakarta. Kemudian muncul lagi ormas Islam yang bernama "Syarekat Dagang Islam" atau disingkat SDI, yang didirikan pada 1911. Muncul kemudian Syarekat Islam (PSI) pada 1911 yang kemudian melebur menjadi Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII). Organisasi keagamaan yang bernama Muhammadiyah muncul tahun 1912, Muhammadiyah ini dibentuk oleh K.H. Ahmad Dahlan.
Di masa masa itu, terjadi perselisihan di tanah Hijaz (yaitu di kawasan kota Makkah, Madinah dan juga Jeddah), peristiwa itu terjadi semacam pergolakan pemimpin di pemerintahan. Pada 1920 M, Syarif Hussain, Sang raja "Hijaz", yang wilayahnya masih di bawah kekuasaan kesultanan Turki, Ia mengangkat dirinya sebagai pemimpin/khalifah untuk kaum muslimin di Arab. Kekholifahannya dipusatkan di kota Makkah dan akhirnya memisahkan diri dari kekuasaan kesultanan Turki.
Akan tetapi, Abdul Aziz bin Saud (1876-1953) yang sudah menjadi penguasa di Najed (yaitu kawasan Riyadh), ia menganggap bahwa Syarif Husein yang mengaku sebagai raja tersebut tidak mementingkan kemerdekaan dan persatuan tanah Arab. Sementara itu, Hussain yang merupakan penganut AhlusSunnah dengan mengikuti madzhab Hanafi, adalah orang yang dianggap sebagai penghalang Faham Wahabi yang disebarkan dan dianut oleh ibnu Saud.
Bahkan pengamalan ahlussunah di masyarakat Arab yang dianut syarif Hussein dianggap sebagai keburukan bid'ah dan khurofat. Sehingga muncul niat dan tekad ibnu Saud untuk segera melengserkan/menggulingkan Syarif Hussein dari singgasana tahta kerajaan kota Makkah. Kemudian tahun 1924, terjadi pertempuran yang hebat sampai tumpah darah antara pasukan Ibnu Saud yang melawan tentara Syarif Hussein. Pertempuran ini dapat mengendorkan pertahanan Syarif Hussain dan sedikit demi sedikit kota perlindungan Syarif Husain dapat dikuasi oleh tentara Ibnu Saud. Dengan dikuasainya kota makkah ini, Syarif Husein kemudian pergi meninggalkan tanah Hijaz ke tanah kepulauan Cyprus.
Syarif Ali, putra Hussein, kemudian menggantikan tahta ayahnya untuk bertahan, namun pertahanan tentaranya tidak lebih kuat dari pertahanan ayahnya. Lalu pada 1925, Syarif Ali terpaksa menyerah. Dengan menyerahnya Ali bin Husein maka tercapailah cita-cita Ibnu Saud untuk tujuan mempersatukan tanah Jazirah Arab yang berada dibawah pemerintah kekuasaannya. Dan kemudian Ibnu Saud mengganti tanah "Hijaz", yaitu negara yang dikuasainya menjadi nama negara Saudi Arabia. Nama ini diambil dari nama keluarganya, yaitu "Saud". Dan dikenal sampai sekarang negara Saudi Arabia dan Ibnu Saud didaulat sebagai Raja Saudi yang pertama.
Dengan kekuasaan penuh, Raja Saud Merombak total dari praktek keagamaan. mulai dari penegasan hukum-hukum, aturan di Saudi Arabia hanya menganut ajaran Wahabi yang dibawa oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787) dari Najed tersebut. Hal ini dikarenakan Ibnu Saud dari Najed. Kemudian Para tokoh paham wahabi ini menghabiskan segala bentuk yang dianggapnya (menurut wahabi) bid'ah, seperti tawassul, bacaan tahlil, istighosah, perayaan maulid Nabi dan sebagainya yang biasanya dilakukan oleh para penganut ahlussunnah waljamaah. Bahkan para tokoh mengecap dan menganggap Syirik kepada orang-orang yang melakukan amaliah tadi.
Dengan merebaknya ajaran wahabi tersebut, ajaran wahabi ini masuk ke Indonesia jauh sebelum Ibnu Saud mengusai Hijaz dari tangan Syarif Hussein. Ajaran Wahabi ini dibawa ke Indonesia oleh para siswa yang pernah belajar di tanah Hijaz sejak paham Wahabi diajarkan pada akhir abad 19.
Atas dasar inilah, pejuang membentuk ormas islam di Indonesia di awal abad 20. Di tahun awal awal tersebut banyak sekali ormas ormas islam yang ketika ceramah di depan umum selalu membid'ahkan para kyai pesantren yang mengamalkan tahlilan, ziarah kubur dan lainnya. Lebih pedas lagi mereka menganggap kyai ini ahli bid'ah dan khurofat serta lebih kejam lagi menganggap musyrik.
Dengan adanya peristiwa dan kejadian seperti ini, akhirnya para kyai kyai pesantren berkumpul untuk mencari solusi. Tahun 1921, di Indonesia terbentuk lembaga yang disebut "Kongres Al-Islam" yang sudah di dominasi terbanyak dari para tokoh dari kalangan yang berfaham wahabi ini. Lembaga ini mengadakan kongres perdananya di akhir tahun 1922.
Tahun 1926, terdapat undangan dari Panitia Muktamar Islam Se-Dunia yang bertempat di Kota Makkah Saudi Arabia. Sehingga tahun 1924, lembaga "Kongres Al Islam" kembali mengadakan Kongres keduanya untuk membahas tentang delegasi untuk dikirim ke Muktamar Dunia tersebut. Ketika Kongres Islami berlangsung, K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan juga beberapa kawannya mengajukan usulan agar dirinya dapat menjadi delegasi yang akan dikirim ke Muktamar dunia tersebut di kota Makkah. Hal ini sehingga menjadi media KH Abdul Wahab Hasbullah dapat mendesak Raja Ibnu Saud agar mau melindungi hak dalam bermadzhab yang sudah berjalan di tanah hijaz.
Akan tetapi usulan Kyai wahab tidak diperdulikan karena mungkin dari kalangan pesantren. Para tokoh dalam kongres islami tersebut nampaknya sudah bersepakat dengan ajaran yang ada di Arab saudi tersebut dan mendukung Ajaran Wahabi. Sehingga akhirnya, KH Wahab dan kawan-kawannya memutuskan untuk keluar dari "Kongres Al Islam". K.H. Wahab lalu mengambil tindakan inisiatif untuk membicarakan/musyarah tentang materi yang akan diusulkan itu kepada para ulama tua, yaitu dari Semarang, Pasuruan, Lasem dan Pati.
Dari hasil musyawarah dengan para ulama tua, K.H. Wahab membentuk lembaga Comite atau kepanitiaan sendiri yang diberi nama "Comite Hijaz". Kepanitiannya yaitu:
- Penasehat: K.H. Abdul Wahab, K.H. Masyhuri, K.H. Khalil.
- Ketua: H. Hasan Gipo.
- Wakil Ketua: H. Shaleh Syamil
- Sekretaris: M. Shadiq.
- Pembantu: K.H. Abdul Halim.
Tepat Pada 31 Januari 1926, Panitia Comite Hijaz berhasil mengundang para kyai terkemuka nusantara untuk berkumpul bermusyawarah dirumah K.H. Wahab Hasbullah. di Jln. Kertopaten Surabaya. Tamu undangan banyak yang hadir dalam acara musyawarah tersebut. Tamu undangan yang hadir adalah K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Bisri Syansuri, K.H. Maksum Lasem dan para tokoh kyai terkemuka dari pulau Jawa dan Madura.
Dalam acara musyawarah tersebut berhasil diputuskan beberapa permasalahan yaitu yang paling terpenting adalah segera diresmikannya panitia "Komite Hijaz" yang akan dikirimkan delegasi ke Muktamar Dunia di Saudi Arabia. Hal ini untuk meminta kepada Raja Saud untuk melindungi hak hak warga negara Indonesia yang ada di Saudi Arabia, baik itu hak bermadzhab dan lainnya.
Keputusan kedua adalah Para kiyai yang hadir dalam rapat musyawarah sepakat menunjuk kepada K.H. Raden Asnawi dari Kudus sebagai utusan/delegasi yang dikirimkan ke Muktamar Dunia di Makkah itu. Keputusan ke tiga dalam rapat tersebut adalah untuk segera membentuk Jam'iyah para kyai-kyai nusantara, para ulama, sebagai organisasi yang bertanggungjawa atas delegasi yang dikirim ke Muktamar Dunia tersebut.
Jam'iyah ini juga sebagai perkumpulan para kyai dan para pengikut kyai untu benar benar mempertahankan ajaran Ahlussunnah waljamaah Ays'ariyah Maturidiyyah di Bumi Nusantara. Sebagai Jam'iyah untuk persatuan para kyai untuk memimpin umat menuju kejayaan islam.
Sehingga, K.H. Mas Alwi Abdul Aziz ini mengusulkan nama Jam'iyah tersebut bernama "Nahdlatul Ulama" sementara itu K.H. Abdul Hamid, Sedayu Gresik juga mengusulkan nama "Nuhudlul Ulama". Akhirnya yang diterima oleh musyawirin adalah nama "Nahdlatul Ulama" dengan susunan Jam'iyah tersebut yaitu antara lain:
- Mustasyar: K.H. M Zubair, Syekh Ahmad Ghonaim Al Misri dan beberapa kyai lainnya.
- Rois Akbar Syuriyah: K.H. Hasyim Asy'ari dan beberapa kiyai lainnya sebagai Wakil dan A'wan
- Katib: K.H. Abdul Wahab Hasbullah, didampingi seorang wakil.
- Ketua Tanfidziyah: H. Hasan Gipo, didampingi seorang wakil
- Sekreteris: M Sidiq, dengan seorang wakil.
- Bendahara: H M. Burhan dengan seorang wakil.
Namun Tahun 1926 ini para delegasi terkendala teknis, sehingga tidak bisa menghadiri Muktamar Islam Dunia di Makkah. Kendala teknis tersebut adalah urusan transportasi. Namun NU tetap berjuang untuk bisa ke Saudi Arabia. Sehingga selang dua tahun, yakni awal 1928, NU berhasil mengirimkan delegasinya menghadap Raja Ibnu Saud. Akan tetapi, delegasi tidak jadi KH Asnawai, melainkan K.H. Wahab Hasbullah beserta Syekh Ahmad Ghonaim Al Misri. Kedua pejuang Aswaja ini berhasil bertemu Raja Saud dan hasil kunjungan adalah dibolehkan melaksanakan ibadah sserta pengajian yang berdasarkan dari empat madzhab di Masjid Al-Haram Makkah dan juga madinah (Tanah Hijaz).
Inilah dasar dasar berdirinya Nahdlatul Ulama dengan berbagai alasan dan juga pertimbangan. Ada dua alasan yang pokok dan vital yang melandasi berdirinya Ormas Islam bermana NU, yaitu:
1- Timbulnya keperluan yang mendesak bagi kaum Ahlis Sunnah penganut madzhab untuk melembagakan persatuan diantara mereka guna menghadapi pesatnya perkembangan gerakan pembaharuan Islam yang radikal di Indonesia dan berupaya mempertahankan tradisi keagamaan yang bersumber dari ajaran - ajaran imam madzhab yang dianut oleh para penganut Ahlus Sunnah.
2- Timbulnya keperluan yang mendesak untuk mengadakan audiensi guna menyampaikan resolusi dari kaum Ahlis Sunnah di Indonesia kepada penguasa baru di Saudi Arabia yang dipegang oleh dinasti Saud dari kelompok Wahabi. Resolusi itu meminta agar pemerintahan baru tersebut, tidak menghapus tradisi-tradisi yang dipandang sebagai ibadah oleh kaum Ahlis Sunnah wal Jama"ah.
Dengan dasar berdirinya NU tersebut, maka merupakan sebuah kewajiban bagi setiap warga NU di setiap generasi sekarang ini untuk tetap berjuang dan juga mepertahankan ajaran Ahlus Sunnah dan menanggulangi faham radikal sebagaimana dahulu diupayakan oleh para pendahulu, dengan berusaha menangkal tergerusnya warga nahdliyin oleh kelompok radikal yang kini dengan beragam cara.
Saat ini gerakan wahabi terlihat lebih massif daripada masa-masa dahulu. Sungguh sangat tragis jika organisasi para kiyai dan para pengikutnya yang telah menjadi ormas Islam terbesar ini, sampai menjadi kerdil dan tergerus oleh paham radikal hanya karena ketidak-pedulian para generasi Nahdliyin dalam upaya menjaga dan memproteksinya.
Karena sebagaimana telah dituturkan bahwa NU dulu didirikan, adalah untuk menangkal radikalisme itu.
Disadur dari tulisan KH Busyrol Karim Abdul Mughni, Rois Syuriah PCNU Kabupaten Kediri.
COMMENTS